Beranda » Sekilas Obsessive-Compulsive Disorder » Lanjutan: Obsessive-Compulsive Disorder

Lanjutan: Obsessive-Compulsive Disorder

Salam.

Saya merasa sangat tersanjung karena artikel saya mengenai OCD sebelumnya banyak ditanggapi orang. Banyak yang berbagi pengalaman dan kesan-kesan mereka di situ, banyak hal yang mencerahkan saya bahwa ternyata banyak orang yang menderita gangguan ini dan berusaha untuk sembuh.

Saya bukan penderita OCD, saya adalah seorang perfeksionis (yang dengan bangga saya akui) yang menyukai kerapian dan keteraturan, mungkin lebih dari orang lain di sekitar saya. Beberapa streak kerapian yang saya sering terapkan sehari-hari antara lain: merapikan dokumen dan buku sampai sedetil-detilnya dengan cara ditandai dan diberi kode (huruf, angka dan warna pakai stiker penanda), mengurutkan dan merapikan dokumen di dalam komputer (menamai dan mengelompokkan sesuai kategori, berlaku juga untuk file musik dan video), merapikan meja kerja (setiap alat tulis pribadi dilabeli nama, dikelompokkan sesuai jenisnya dan diletakkan sejangkauan tangan sesuai prioritas dan frekuensi pemakaiannya), setiap barang harus diletakkan sesuai dengan tempatnya, merapikan ulang semua barang-barang di kamar, dst.

Itu bisa jadi simptom awal OCD, bila hal tersebut dilakukan repetitif, kapan pun, dimana pun, dan mengganggu kehidupan sehari-hari, yang mana bila tidak dilakukan, akan menimbulkan perasaan bersalah dan kecemasan. Karena simptom tersebut tidak muncul dalam kebiasaan hidup saya, maka kesimpulannya saya bukanlah penderita OCD. Saya hanyalah seorang neat freak, perfeksionis sejati (halahh…).

Kembali pada OCD, beberapa artikel yang saya baca menyatakan bahwa OCD merupakan salah satu bentuk gangguan neurotik. Neurotisme adalah kondisi kejiwaan yang ditandai adanya gejala ketidakseimbangan mental yang umumnya menjurus pada kondisi stres dan depresi. Gejalanya bisa berupa kepanikan dan kecemasan berlebihan, stres akut, depresi, dsb. Banyak orang mengalami gejala neurotisme setiap hari, sebagian besar berupa stress. Gejala neurotisme tertentu yang parah menimbulkan gangguan neurotik semacam OCD, ROCD, dsb.

Neurotisme dan gangguan neurotik bukanlah gejala kegilaan. Neurotisme juga berbeda dengan psikotisme. Dalam neurotisme, penderita mengalami ketidakseimbangan mental dan gangguan dalam mengelola emosi; biasanya gejala neurotisme tidak sampai mengganggu hubungan interpersonal penderita dengan orang lain, kecuali bila gangguan tersebut sudah sedemikian parahnya sampai membutuhkan penanganan ahli jiwa.

Sedangkan dalam psikosis dan gangguan psikotis, penderita mengalami gangguan dalam berpikir, menerima dan mengolah persepsi, serta ketidakmampuan mengelola alam pikiran dan penilaian terhadap dunia, sehingga menimbulkan adanya perubahan kepribadian dan atau antisosialisme pada penderita. Penderita biasanya mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Meski begitu, psikosis juga tidak bisa disebut sebagai gila, karena gejala psikotis pun masih bisa disembuhkan (sementara kegilaan biasanya bersifat permanen).

Gejala psikotis juga berbeda dengan psikopatisme lho.

Kembali pada OCD (lagi), beberapa terapi yang bisa diterapkan dalam upaya penyembuhan OCD antara lain behavioral therapy, cognitive behavioral therapy dan terapi medikasi. Psikoterapi psikodinamis dapat diberlakukan untuk mengelola sebagian gejala yang sulit dihilangkan. Informasi lebih lanjut: klik sini, sini dan sini.

Penderita OCD sulit dihitung jumlahnya, karena mereka umumnya malu ke dokter. Menurut artikel di situs alodokter.com, ada 4 tahapan dalam OCD, yaitu Obsesi, Kecemasan, Kompulsi dan Kelegaan Sementara. Obsesi muncul saat pikiran penderita terus dikuasai oleh rasa ketakutan atau kecemasan. Kemudian obsesi dan rasa kecemasan akan memancing aksi kompulsi di mana penderita akan melakukan sesuatu agar rasa cemas dan tertekan dikurangi. Perilaku kompulsif tersebut akan membuat penderita merasa lega untuk sementara, tapi obsesi serta kecemasan akan kembali dan membuat penderita mengulangi pola tersebut.

Sifat perfeksionis berbeda dengan gejala OCD. Menjaga kebersihan serta kerapian yang berlebihan bukan berarti kita menderita OCD. Pikiran OCD bukan hanya sekadar rasa cemas yang ekstrem tentang masalah dalam kehidupan. Jika obsesi dan kompulsi sudah menghambat rutinitas, periksakan diri ke dokter atau psikolog.

Naah, setelah membaca kutipan dari situs tersebut, kalian (dan saya) yang memiliki kecenderungan perfeksionis bisa bernapas lega karena perfeksionisme bukan berarti OCD. Untuk seterusnya kita harus bisa dengan bijak memisahkan antara perilaku menjaga kerapian dan kebersihan yang berhubungan dengan perfeksionisme dan perilaku repetitif yang menyita waktu dan mengganggu hubungan interpersonal penderita dengan lingkungannya, yang berhubungan dengan OCD.

Bagi kalian yang memiliki keluarga dan kawan dekat yang memiliki kecenderungan OCD atau hanya perfeksionis, tolong (dengan amat sangat) jangan diledek! Sudah berat beban mereka menanggung stres akibat perilaku tersebut, jangan diberi tambahan beban lagi dengan mengolok-oloknya. Kalau merasa terganggu dengan ‘kebawelan’ mereka akan kebersihan dan kerapian, harap beri mereka saran dan usulan dengan kata-kata yang baik.

Terkadang kita tidak sadar bahwa kita bisa menyakiti orang-orang terdekat kita hanya dengan kata-kata. Sungguh, ucapan menyakitkan yang dilontarkan oleh mereka yang seharusnya mendukung kita jauh lebih membekas dalam hati. Kalau pakai bahasa lagunya Cita Citata, “sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku~” sambil menunjuk dada 🙂

Oke, sampai di sini dulu bahasannya. Semoga info sekedarnya ini banyak membantu mereka yang membutuhkan. Jujur saja, saya bukanlah orang lulusan Psikologi, saya juga tidak bekerja di bagian HRD. Saya hanya hobi menelaah kajian psikologi (akui saja, hal itu menarik kan? Kan?).

Salam, Dea.

Tinggalkan komentar